Badai ini, cepatlah berlalu.
Mari tafakur sejenak untuk sepak bola nasional. Dari keheningan hati, kita berharap badai segera berlalu dan sepak bola nasional kembali berdiri tegak, berlari mengejar prestasi. Tak ada kata menyerah, kendati situasi dan kondisi kian kalut. Kini, persoalan tak lagi soal dualisme kompetisi tapi dualisme tim nasional. Sama-sama mengatasnamakan PSSI, Djohar Arifin Husin dan La Nyalla Mattalitti membentuk timnas. Timnas Djohar ditukangi Nil Maizar, sedangkan timnas La Nyalla diarsiteki Alfred Riedl.
Riedl sendiri sudah menandatangi kontrak kemarin, Rabu (5/9), di The Ritz Carlton, Mega Kuningan, Jakarta Selatan. Sumringah, pelatih berkebangsaan Austria itu menyalami La Nyalla dan berjanji akan memberikan yang terbaik bagi bangsa dan negara. Dua tahun silam, Riedl membawa tim “Merah Putih” melaju ke final Piala AFF, walau kemudian kandas menjadi yang terbaik lantaran digebuk Malaysia. Dualisme timnas menyedihkan kita, karena menandakan bahwa karut marut bukannya surut melainkan kian kusut. Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng ikut prihatin, bahkan membathin. Mantan juru bicara Presiden Susilo Yudhoyono tersebut meminta agar dualisme timnas dihentikan, karena ini akan mencoreng nama Indonesia di mata internasional.
Garuda di dada siapa, sebenarnya? Bisakah kita, di saat ini, berteriak lantang seperti dulu: Garuda di Dadaku, Garuda Kebangaanku…
Peringkat Indonesia terus melorot. FIFA atau Badan Sepak Bola Dunia, lewat rilis Rabu (5/9) kemarin menempatkan Indonesia di urutan 168 dunia. Juli lalu, Indonesia masih bercokol di peringkat 153. Artinya, hanya dalam tempo dua bulan peringkat kita turun 15 tingkat. Saat ini kita bahkan sudah terlempar dari lima besar ASEAN di bawah Thailand (131), Vietnam (146), Philipina (150), Malaysia (156) dan Singapura (161). Tragis.
PSSI terbelah, menyusul eksodusnya sebagian besar pemilik sah suara yang kemudian membuat wadah sendiri bernama Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia (KPSI). Singkat cerita, KPSI selanjutnya menggelar kongres luar biasa (KLB) di Ancol, Jakarta Utara, Maret 2012 dan didapuklah La Nyalla sebagai ketua umum.
Djohar sendiri menggantikan Nurdin Halid lewat KLB di Solo, Juli tahun silam. Sayang, belum ada seumur jagung, anggota sudah berontak menyusul kebijakan dan keputusan Djohar yang dituding kerap melabrak statuta PSSI salah satunya adalah terkait peserta kompetisi sepak bola kasta tertinggi. Djohar menetapkan 24 tim, sedangkan Kongres Tahunan PSSI pada Januari 2011 menyatakan bahwa pesertanya hanya 18 tim. Ujung-ujungnya, sebagian besar pemilik suara mencabut dukungan dan menjadi seteru Djohar. Kompetisi dalam negeri pun ada dua: IPL dan ISL.
Dari sini perseteruan terus melilit. FIFA dan AFC turun tangan dan meminta dualisme harus dihentikan, jika kalau tidak Indonesia akan kena sanksi. Anjing menggonggong kafilah tetap berlalu. Seruan FIFA dan AFC dianggap lalu. Kompetisi tetap jalan, bahkan sampai usai. Di IPL, Semen Padang tampil sebagai juara. Di ISL, Sriwijaya FC menjadi yang terbaik. Dan dua-duanya, sama-sama mengklaim paling layak mewakili Indonesia di pentas Liga Champions Asia tahun depan.
AFC kemudian mengundang kedua kubu yang bertikai untuk datang ke Kuala Lumpur, Malaysia, Juni lalu. Hasilnya menjanjikan, yakni penanda tanganan nota kesepahaman (MoU). Inti MoU, menyelesaikan konflik agar Indonesia lolos dari sanksi. Dari sini terbentuklah Joint Committee (JC), beranggotakan delapan orang yang masing-masing kubu diwakili empat utusan.
Secara garis besar, JC inilah yang menjalankan tugas-tugas keorganisasian termasuk pembentukan timnas. JC melakukan pertemuan pertama pekan pertama Juli atau tak lama setelah MoU. Pertemuan dihelat di Jakarta, dihadiri semua anggota termasuk duta AFC. Usai pertemuan, JC pun mengagendakan pertemuan kedua, di mana agenda pembahasan masuk ke materi persoalan yakni soal penyatuan kompetisi dan timnas. Akan tetapi, pertemuan kerap molor digelar karena kedua belah pihak punya argumen masing-masing. Belakangan, pihak La Nyalla uring-uringan karena Djohar membentuk timnas tanpa mekanisme JC. Jengkel, La Nyalla meresponnya dengan membentuk timnas tandingan.
Boleh percaya boleh tidak, baik Djohar maupun La Nyalla sama-sama mendaftarkan timnasnya ke ajang Piala AFF 2012 yang akan digelar di dua negara, Malaysia dan Thailand, November – Desember mendatang. Keduanya juga sama-sama percaya diri kalau timnasnyalah yang akan diakui AFC, bahkan FIFA.
Sampai kapan kemelut menggelayut? Kita berharap secepatnya. Agar kita kembali satu suara menyanyikan: Garuda di Dadaku, Garuda Kebanggaanku…
Joko Driyono, CEO PT Liga Indonesia, yang juga kolega La Nyalla menyatakan bahwa pertemuan kedua JC akan digelar di Kuala Lumpur, 19 atau 20 September. Dalam pertemuan nanti akan dibahas semuanya dan kita berharap karut marut segera berakhir.